
Berbicara pemilihan umum, secara garis besar voting terbagi kepada tiga tahapan kegiatan, yaitu tahapan pendaftaran dan pemutakhiran data pemilih yang akan menghasilkan DPT (daftar pemilih tetap), tahapan pendaftaran calon yang akan menghasilkan calon yang ditetapkan memenuhi syarat, proses pemungutan dan hasil penghitungan suara.
Selama ini, voting secara centang atau coblos kertas suara menjadi pilihan dalam penyelenggaraan pemilu dan pemilukada di tanah air. Metode ini oleh banyak kalangan dinilai masih sangat konvensional di tengah kemajuan teknologi dan informasi, memiliki kelemahan dari aspek efisiensi dan efektivitas. Persoalan kesemrawutan data penduduk yang mempengaruhi validasi data pemilih, kebutuhan logistik pemungutan suara yang boros secara anggaran, pemungutan suara dan rekapitulasi penghitungan suara tidak efisien waktu, banyaknya personil penyelenggara pemungutan dan penghitungan suara di TPS yang membutuhkan pembiayaan, sampai rentannya kecurangan dan manipulasi hasil pemungutan suara. Kondisi dan kesemrawutan voting konvensional selama ini tidak sebanding dengan apa yang dikemukakan oleh Deputi Kepala Bidang TIEM BPPT RI Dr Ir Unggul Priyatno di media dan seminar nasional e-voting di Banda Aceh terhadap keunggulan elektronik voting. Bahwa e-voting merupakan cara baru dalam pelaksanaan pemilihan yang diakomodir oleh MK, sistem ini membantu mempercepat proses pemungutan dan penghitungan suara serta mengurangi resiko kesalahan dan menghemat biaya.
Wacana E-Voting dalam Pemilu
Wacana e-voting mulai bergulir ketika Bupati Jembrana I Gede Winasa mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menguji konstitusionalitas Pasal 88 UU Nomor 32 tahun 2004 yang mengatur pemberian suara dalam pemilukada dilakukan dengan mencoblos surat suara (voting konvensional). Mahkamah Konstitusi (MK) dalam amar Putusan No. 147/PUU-VII/2009 tanggal 30 Maret 2010 telah mengabulkan permohonan uji konstitusionalitas Pasal 88 UU Nomor 32 tahun 2004 yang diajukan Bupati Jembrana. MK memperkenankan pemungutan suara secara e-voting sebagai salah satu metode pemberian suara. Amar putusan MK sebagai berikut:“Bahwa pemberian suara yang dilakukan dengan cara mencentang salah satu calon sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas Pemilu yang luber dan jurdil tidak mengurangi keabsahan Pemilu karena masih dalam batas-batas yang wajar. Demikian juga cara lain, misalnya e-voting, adalah konstitusional sepanjang tidak melanggar asas Pemilu yang luber dan jurdil; meskipun demikian, penggunaan cara e-voting harus berdasarkan pertimbangan objektif, yakni kesiapan penyelenggara pemilu dan masyarakat, sumber dana dan teknologi, serta pihak terkait lain yang benar-benar harus dipersiapkan dengan matang. Atas dasar asas manfaat, Mahkamah menilai bahwa Pasal 88 UU 32/2004 adalah konstitusional sepanjang diartikan dapat menggunakan metode e-voting dengan syarat secara kumulatif sebagai berikut: tidak melanggar asas luber dan jurdil; daerah yang menerapkan metode e-voting sudah siap baik dari sisi teknologi, pembiayaan, sumber daya manusia, maupun perangkat lunaknya, kesiapan masyarakat di daerah yang bersangkutan, serta persyaratan lain yang diperlukan.”
Menanggapi putusan MK ini, Ketua KPU Abdul Hafiz Anshari menegaskan bahwa putusan MK tersebut tidak serta merta dapat diberlakukan, sebab sebagai penyelenggara pemilu KPU harus bergerak dalam koridor UU. Penggunaan metode e-voting harus terlebih dahulu diatur dalam UU atau paling rendah Perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). Selain juga harus memenuhi dua syarat yang bersifat kumulatif; pertama, tidak melanggar asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Kedua, daerah yang menerapkan metode e-voting sudah siap dari segi teknologi, pembiayaan, SDM, perangkat lunak, dan kesiapan masyarakat di daerah.(puspen.depdagri.go.id)
BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) selama ini dikenal sebagai pihak yang paling intensif melakukan sosialisasi penggunaan teknologi informasi dalam pelaksanaan voting. Pada tanggal 19 Mei 2010 di Jakarta, BPPT menggelar “Dialog Nasional Menuju Pemanfaatan E-Voting untuk Pemilu di Indonesia Tahun 2014”. Dialog nasional ini menghasilkan rekomendasi pelaksanaan elektronik voting dalam pemilu di Indonesia karena dinilai sebagai solusi alternatif menjawab kesemrawutan penyelenggaraan pemilihan dengan voting konvensional. Walau demikian, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, salah seorang pembicara dalam dialog tersebut menegaskan bahwa pemilu dengan menggunakan sistem e-voting belum bisa dilaksanakan bilamana sistem Kartu Tanda Penduduk belum menggunakan e-KTP (KTP elektronik). Tanpa didahului program pembuatan KTP elektronik, e-voting sulit dilaksanakan, karenanya perlu dipenuhi standarisasi program KTP elektronik tahun 2012, karena kunci e-voting adalah adanya e-KTP.
Sejurus dengan itu, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi II DPR-RI, Jakarta (Kamis, 29/4/2010), Ketua KPU Abdul Hafidz Ansari kembali menegaskan bahwa penerapan sistem elektronik atau e-voting dalam pemungutan suara tidak bisa digelar sepanjang belum ada peraturan perundang-undangan yang melandasinya. Menurut Ketua KPU, pelaksanaan e-voting juga belum menjamin tidak terjadinya manipulasi dan kecurangan, operator berpotensi mengutak-ngatik hasil pemilihan, kerahasiaan para pemilih pun dipertanyakan karena setiap pemilih terekam data votingnya. Dari efisiensi biaya, juga dibutuhkan dukungan anggaran pengadaan alat dan pemeliharaan yang besar, (Koran Jakarta, 30 April 2010)
Belajar dari Jembrana dan Pandeglang
Penerapan metode e-voting (elektronik voting) mulai diterapkan di Kabupaten Jembrana pada April 2009 lalu, namun lingkupnya baru tataran pemilihan kepala dusun. Keberhasilan itu sempat membuat Pemerintah Kabupaten Jembrana optimis untuk menggelar pemilihan kepala daerah dengan e-voting. Persiapan ke arah pelaksanaannya mulai dibenah, Pemerintah Kabupaten Jembrana mempersiapkan diri dengan program penerapan KTP SIAK (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan) yang melahirkan data base kependudukan yang lebih akurat dari sistem sebelumnya SIMDUK, selain juga mengaplikasikan penggunaan kartu RFID (Radio Frequency Identification) sebagai kartu fisik KTP yang memiliki kelebihan sebagai single identification number (SIN), penerapan kartu RFID sebagai fisik KTP adalah kata kunci bagi validasi data kependudukan yang nantinya akan dijadikan sebagai dasar penetapan daftar pemilih tetap (DPT). Walau akhirnya Jembrana bersikap realistis menyatakan belum siap untuk menerapkan e-voting dalam pemilukada.Kabupaten Pandeglang juga telah mempelopori pelaksanaan simulasi e-voting di dua TPS dalam pemungutan suara ulang Pemilukada pada tanggal 26 Desember 2010. Pemilih tetap melaksanakan haknya dengan voting konvensional (coblos surat suara), namun setelah itu diberikan kesempatan mencoba perangkat e-voting yang dimaksudkan untuk melihat respon masyarakat terhadap penggunaan alat ini. Simulasi e-voting di Pandeglang merupakan simulasi pertama yang dilakukan secara paralel dalam pemilukada di Indonesia.
Konfigurasi yang dibutuhkan dalam perangkat e-voting tidak berbeda dengan sistem konvensional, kedua model ini tetap membutuhkan validasi daftar pemilih tetap (DPT), calon peserta pemilukada, pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara di TPS, pengiriman dan tabulasi/rekapitulasi perolehan suara secara menyeluruh. Membedakan keduanya hanyalah pada mekanisme memberikan hak suara dari konvensional voting beralih kepada elektronik voting, demikian halnya penghitungan suara beralih dari manual kepada elektronik.
Belajar dari simulasi e-voting di Pandeglang dan pemilihan kepala dusun di Jembrana, perangkat e-voting yang digunakan terdiri dari: (1) tombol aktivasi; pengaktifan alat e-voting dilakukan oleh petugas dengan menekan tombol aktivasi sebelum pemilih berada di bilik suara, tombol aktivasi ini berada di lokasi yang berjauhan dari bilik suara. (2) papan suara elektronik, adalah papan layar yang menampilkan pasangan calon peserta pemilukada, pemilih menentukan pilihannya dengan menyentuh nomor yang berada disamping pasangan calon yang dipilih. (3) layar monitor sentuh dan pencetak struk pilihan; layar menampilkan pasangan calon yang dipilih melalui papan suara elektronik yang selanjutnya dikonfirmasi pilihannya oleh pemilih dengan menyentuh kolom ”vote” di layar monitor. Proses pemilihan selesai dan perangkat e-voting akan mengeluarkan kertas bukti pilihan yang akan dimasukkan ke dalam kotak suara.
E-Voting di Banda Aceh
Dari pemberitaan di surat kabar, kita membaca dan mengetahui rencana fenomenal Pemko Banda Aceh dan KIP Kota Banda Aceh menggelar e-voting dalam Pemilukada Tahun 2011. Ketua KIP Kota Banda Aceh Aidil Azhari menyatakan pihaknya akan bekerja sama dengan BPPT RI (Badan Pengkajian Penerapan Teknologi) untuk merencanakan pelaksanaan e-voting dalam pemilukada di Kota Banda Aceh. Bila ini terealisasi akan menjadi tonggak sejarah pertama perhelatan pemilu di Indonesia dengan elektronik voting.Keyakinan ini didasari atas kunjungan BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) beberapa waktu yang lalu untuk memperkenalkan sistem e-voting dalam pemilihan yang dimungkinkan pelaksanaannya dalam pemilukada di Kota Banda Aceh tahun 2011. Gagasan ini patut untuk dipertimbangkan, namun apakah e-voting dapat langsung dilaksanakan di Kota Banda Aceh untuk Pemilukada tahun 2011? Penjelasan mekanisme perangkat e-voting dalam pelaksanaan pemilihan oleh Tim BPPT menarik dan patut untuk diapreseasikan.
Pemerintah Kota Banda Aceh menunjukkan keseriusannya menggelar pemilihan secara e-voting melalui kerjasama intens selama ini dengan BPPT. Untuk maksud tersebut, Pemerintah Kota Banda Aceh bersama BPPT dan KIP Kota Banda Aceh menggelar “Seminar Nasional, Diskusi dan Simulasi Evoting” di Kota Banda Aceh, 14 Maret 2011 yang menghadirkan pembicara dari KPU, Bawaslu, IFES, Dirjen OTDA, dan Dirjen Dukcapil. Kegiatan ini patut diberikan apresasi positif, paling tidak Pemerintah Kota Banda Aceh dan KIP telah memprakarsai wacana dan gagasan e-voting dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah di Aceh untuk dibedah dalam forum diskusi tersebut.
Dalam seminar tersebut, Walikota Banda Aceh menyatakan kesiapan Pemerintah Kota untuk menggelar pemilukada 2011 dengan sistem e-voting, “Insya Allah, kalau diberi kesempatan dan dipercaya, Banda Aceh sudah siap memanfaatkan teknologi e-voting“ demikian pernyataan Walikota Banda Aceh. Dia menyebutkan bahwa pelaksanaan e-voting di Kota Banda Aceh menunggu pengesahan revisi qanun pemilukada 2011.
Forum seminar dan diskusi e-voting tersebut dimaksudkan untuk mengkaji kemungkinan pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah di Kota Banda Aceh tahun 2011 secara e-voting. Dari tiga panelis, KPU, Bawaslu, dan IFES mempertegas akan pentingnya regulasi yang mengaturnya, perlu waktu yang tidak sesaat untuk mempersiapkan syarat kumulatif yang disyaratkan dalam putusan MK di atas. Komisioner KPU RI Endang Sulastri kembali menegaskan bahwa KPU adalah pembuat regulasi penyelenggaraan pemilihan berdasarkan UU dan UU tentang penyelenggaraan pemilihan umum tidak mengakomodir pelaksanaan e-voting.
Sebagai wacana sah-sah saja, namun untuk penerapan e-voting dalam pemilukada Kota Banda Aceh 2011 patut terlebih dahulu dikaji dan ditelaah aspek-aspek penting dalam penyelenggaran pemilihan, utamanya aspek kepastian hukum untuk menjamin regulasi prosedural e-voting. Sebab, kepastian hukum adalah salah satu asas penyelenggaraan pemilu dan pemilukada, karenanya regulasi prosedural e-voting menjadi sangat penting, baru kemudian penguatan kapasitas personil penyelenggara, pemilih dan peserta pemilukada terhadap tekhnik prosedural e-voting.
Secara legal standing, Pemilukada berdasarkan UU No.12 tahun 2008 Tentang perubahan Kedua UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Peraturan-Peraturan KPU tentang Pemilukada, Qanun Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pemilukada yang kini masih pembahasan revisi di DPRA. Begitu banyak pasal yang harus direvisi, paling tidak Perppu adalah solusi untuk memuat asas kepastian hukum pelaksanaan e-voting dalam pemilukada, tentunya Perppu itu bersifat universal, tidak lokalistik Banda Aceh saja.
Akhirnya, sekali lagi kita mesti realistis terhadap realitas bahwa ada hambatan-hambatan krusial berkaitan dengan pelaksanaan e-voting dalam pemilukada di Kota Banda Aceh tahun 2011, tidak sekedar cukup dengan modal “yakin” saja. Asas kepastian hukum bagi penyelenggara mensyaratkan pentingnya regulasi yang mengaturnya, karena KPU dan KIP bergerak dalam koridor perundang-undangan dalam penyelenggaran pemilihan.[]
—
Oleh Munawar Syah -
*Penulis adalah Komisioner KIP Kota Banda Aceh
No comments:
Post a Comment