
” KPU harus mempersiapkan seluruh aspek pendukung pelaksanaan e-voting agar dapat dilakukan dengan baik, termasuk dalam aspek perangkat undang-undang (UU) yang juga harus ada regulasi yang mengatur mengenai minimal standardisasinya itu seperti apa,” katanya.
Sakroni menambahkan KPU harus terus mengkaji secara mendalam mengenai penggunaan sistem e-voting karena menurutnya hanya boleh dilakukan jika daerah sudah siap.
” Untuk itu, perlu dibuat standardisasi baku mengenai batasan dan pengertian apakah Kota kita ini siap, agar nantinya tidak ada lagi masalah yang timbul ketika e-voting digunakan,” katanya.
Diungkapkan Sakroni, penggunaan sistem e-voting pada Pilwakot merupakan pilihan, artinya boleh menggunakan e-voting dan boleh juga menggunakan sistem manual seperti yang sekarang digunakan. Namun, bila akan menggunakan sistem e-voting dalam Pilwakot, harus memenuhi persyaratan kesiapan di Kota. ” Perlu dipertimbangkan, e-voting Kota Bengkulu harus didukung oleh SDM, pemahaman, pola pikir, dan tata sikap masyarakat serta instrumennya, seperti data kependudukan, perangkat keras atau lunas dan infrastrukturnya harus siap dengan matang,” tegasnya.
Kelemahan
Secara teori memang e-voting dapat dilaksanakan secara gampang. Tetapi, perlu juga disadari juga bahwa methode e-voting memiliki banyak kelemahannnya. Selain kelemahan pada segi tata aturan mainnya. Juga dalam pelaksanaannya atau saat pencoblosan dilakukan.
” Dari segi tata aturan dalam UU No 32 tahun 2004 belum tertera aturan yang menyebutkan Pilkada/Pilwakot dapat dilaksanakan dengan e-voting. Karena itu, bila cara itu dilaksanakan, suatu ketika bisa diprotes pihak yang kalah pemilu,” Kata Sakroni.
Perlu juga diketahui, Pilkada/Pilwakot beda dengan Pilkades. Pilkades bisa dengan e-voting karena petunjuk pelaksanaannya dapat dibuat melalui Peraturan Daerah (Perda). “Sedangkan untuk Pilkada, aturan atau petunjuk pelaksanaannya harus diatur oleh Undang-Undang (UU) atau setidaknya Peraturan Pemerintah (PP),” katanya.
Ia menambahkan, bilamana UU atau PP-nya telah ada, e-voting tentu tidak akan dipersoalkan. Namun jika ternyata belum diatur, maka bisa saja hasil Pilwakot yang dilaksanakan dianggap tidak sah, karena telah melanggar aturan perundangan yang ada.
” Dalam pelaksanaannya e-voting mengalami kerumitan sendiri. Sebab untuk menjalankan Pilwakot system e-voting, harus terlebih dahulu mendidik para operatornya yang kita yakin kebanyakan masih awam,” katanya.
Ditambahkannya, perlu juga memberikan pembelajaran bagaimana caranya Panitia Pengawas (Panwas) Pilwakot melaksanakan tugasnya. Sebab yang sekarang diawasi adalah mesin(computer) bukan manusia, maka Panwas Pilwakot nanti harus mengerti pula cara bekerjanya peralatan tersebut. Disamping itu, Panwas juga perlu tahu tentang batas-batas mana yang dianggap benar dan salah, sehingga dapat memetakan mana yang dianggap pelanggaran dan bukan pelanggaran. ” Dan kita yakin, sebagian besar Panwaslukada, baik tingkat kelurahan, kecamatan belum seluruhnya paham system tersebut,” ujarnya.
Dilihat dari itu semua, Pilwakot dengan system e-voting sangat jelas memerlukan pendidikan atau pembelajaran yang tentu memakan waktu. Belum lagi anggaran atau biaya untuk pengadaan peralatannya yang kabarnya jauh lebih mahal dibanding pengadaan peralatan atau biaya untuk Pilwakot dengan system konvensional.
” Barangkali, karena rumitnya masalah tersebut, dan waktu yang sangat mendesak, sehingga dinilai sangat wajar jika Jembrana akhirnya menyerah. Pertanyaanya, apakah kita tetap akan melaksanakan e-voting, sementara saat ini saja, kita sama sekali belum punya kesiapan, seperti e-KTP yang belum berjalan di Kota,” tegasnya. (Iyud)
No comments:
Post a Comment