Ads by SITTI

Wednesday, May 25, 2011

E-Voting Bukanlah E-Banking ataupun E-Commerce


Tren pemanfaatan teknologi informasi di berbagai bidang, seperti: e-banking, e-commerce, e-procurement, mendorong munculnya ide pemanfaatan teknologi tersebut dalam proses pengambilan keputusan melalui pemungutan suara (e-voting). Di Indonesia, desakan untuk menerapkan e-voting dalam Pemilihan Presiden 2014 tidak hanya datang dari pemerintah [1,2], tapi juga berbagai elemen masyarakat [3]. Hal ini dapat dipahami sebagai kecenderungan masyarakat menganggap bahwa menerapkan e-voting adalah sama dengan menerapkan sistem transaksi elektronik lainnya. Kita berpikir bahwa setelah berhasil menerapkan e-bankingmaupun e-commerce di Indonesia maka e-voting adalah hal yang mudah.


E-voting tidak sama dengan transaksi elektronik lainnya
(Kim Alexander, California Voter Foundation [4])
Berangkat dari kepentingan yang berbeda, proses dan karakteristik pemungutan suara dalam pemilihan presiden tidak dapat disamakan dengan transaksi perbankan (e-banking) maupun jual-beli (e-commerce). Dalam e-banking selalu diberikan toleransi untuk ketidaksesuaian yang terjadi karena fraud, kerusakan sistem, hingga tereksposnya kelemahan sistem. Sistem perbankan menyediakan mekanisme penjaminan hingga derajat tertentu untuk kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam transaksi perbankan, termasuk yang diakibatkan oleh fraud. Derajat toleransi yang sama tidak bisa diharapkan ada dalam e-voting. Kesalahan dalam proses pemungutan, pengumpulan, perhitungan, dan tabulasi suara sekecil apapun dapat digunakan oleh pihak-pihak tertentu, baik secara politis maupun sosial, untuk menurunkan kepercayaan publik terhadap e-voting dan hasil pemilihan. Public confidence yang rendah sangat mungkin memicu munculnya aspirasi untuk pemilihan ulang yang pastinya memerlukan ongkos sosial-politik yang besar. Apabila hal ini terus berlanjut, maka sangat mungkin berujung pada mass-riot yang dapat mengancam keselamatan publik. Inilah salah satu alasan mengapa e-voting digolongkan ke dalam Safety Critical System[5].
Lebih jauh, dalam e-banking maupun e-commerce, seluruh proses dan data yang terlibat tercatat dengan baik. Hubungan antara penjual-produk-transaksi-pembeli diketahui dengan jelas dan tersimpan hingga dapat dirujuk di lain waktu. Hal ini tidak diperbolehkan dalam e-voting. Proses identifikasi pemilih hanya boleh dilakukan untuk memverifikasi apakah calon pemilih adalah pemilih terdaftar. Selanjutnya, informasi tentang kapan dan dimana pemilih melakukan pemilihan, perangkat e-voting apa yang digunakan pada saat memilih, hingga apa isi suara (vote content) yang diberikan oleh si pemilih tidak boleh terekam sama sekali. Tidak boleh ada inter-field relationship dalam desain database yang digunakan oleh sistem e-voting. Yang demikian untuk menjamin azas BEBAS dan RAHASIA yang dianut pemilihan umum Indonesia.
Pemisahan data pemilih (voter) dan data suara (vote), serta ‘menyembunyikan’ keterhubungan antar keduanya dengan demikian menjadi salah satu requirement mendasar yang harus dimiliki oleh sistem e-voting. Istilah ‘menyembunyikan’ secara teknis dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara: 1)menghilangkan, atau 2)men-enkripsi (to encrypt). Penggunaan cara-cara tersebut masih harus ditelaah lebih dalam dan menyeluruh untuk mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan keduanya. Contohnya: jika inter-field relationship tersebut dihilangkan, maka tidak dimungkinkan untuk merujuk kepada proses pemilihan yang telah dilakukan. Tidak pula dimungkinkan untuk memverifikasi kebenaran dan akurasi data suara terekam, dan bila terjadi kehilangan suara selama proses pemungutan maka tidak terdapat backup data yang dapat digunakan untuk mendukung hasil pemilihan.
Hal-hal di atas dapat menimbulkan masalah baru berkaitan dengan verifikasi suara hasil pemilihan. Seorang pemilih memiliki hak untuk mempertanyakan apakah vote content yang terekam dari proses pemilihan yang ia lakukan adalah sesuai dengan pilihannya, atau apakah itu mengalami perubahan sebelum disimpan. Untuk ini, pemilih berhak meminta tanda bukti yang dapat meyakinkan pemilih bahwa pilihannya tidak mengalami perubahan. Teknik verifikasi suara yang paling populer adalah Voter Verified Paper Audit Trail(VVPAT). Sistem e-voting yang menerapkan VVPAT mengeluarkan kertas hasil cetak untuk setiap pemilih yang telah selesai memberikan suara, dimana di atas kertas tersebut tercantum pilihan si pemilih. Dengan demikian pemilih yakin bahwa apa yang ia pilih adalah apa yang terekam dalam sistem. Isu berikutnya muncul jika pemilih dengan suatu cara dapat menyimpan kertas verifikasi. Pemilih kemudian dapat membawa tanda bukti tersebut ke kandidat yang ia pilih dan meminta bayaran atas pilihannya (vote selling).
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa sesuai dengan tujuan dan filosofi proses-nya, e-voting tidak dapat disamakan dengan jenis-jenis transaksi elektronik lainnya, misal: e-banking, e-commerce, dan lain-lain. Keputusan tentang penerapan e-voting untuk Pemilihan Presiden 2014 yang diambil hanya atas pertimbangan keberhasilan e-banking dan e-commerce, tanpa evaluasi kelaikan sistem yang menyeluruh, adalah kecerobohan.

(Acknowledgement: Tony Trihartanto, Ph.D. on discussion over e-banking transactions)
 
Referensi:
[1] Aditya; Election Commission Optimistic E-Voting Usable in 2014; Antara News; Jakarta – 23 Mei 2010
[2] KYRA/Humas; Sosialisasi E-Voting, BPPT Lakukan Simulasi Pemilukada di Pandeglang; Jakarta; 30 Desember 2010; http://www.bppt.go.id
[3] KYRA/Humas; E-Voting dalam Kacamata Kebijakan dan Pengawasan; Jakarta – 21 Mei 2010
[4] Kim Alexander; Ten Things I Want People to Know about Voting Technology; Jakarta – 21 Mei 201
[5] Margaret McGaley, Paul Gibson; Electronic Voting: A Safety Critical System; March 2003

Oleh :Manik Hapsara
Sumber:  http://www.kompasiana.com/evotingindonesia

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...