Ads by SITTI

Wednesday, May 25, 2011

Menggagas Pilkada via E-Voting

Kemajuan teknologi dapat berjalan beriringan sekaligus berimbas positif terhadap perkembangan kehidupan demokrasi. Dalam kampanye pemilihan umum presiden (pilpres) di Amerika Serikat, misalnya, Barack Obama menggunakan jejaring Facebook sebagai media untuk menjangkau calon pemilih. Dengan dukungan teknologi juga, alternatif cara menggunakan hak pilih makin bertambah dengan adanya teknologi electronic voting (e-voting).
Berkaitan dengan contoh yang disebutkan terakhir, di Jembrana, Bali, pemilihan kepala desa (pilkades) di sejumlah desa tahun 2009 juga telah berhasil menggunakan metode e-voting. Fenomena pilkades dengan e-voting di Jembrana menarik minat dan keingintahuan banyak kalangan (dari mulai anggota DPR, Mendagri hingga beberapa kepala daerah).

Ketertarikan itu bahkan sampai mendorong banyak pihak-yang disebutkan di atas-untuk mengunjungi salah satu kabupaten di Bali ini dengan tujuan melihat langsung bagaimana proses dan mekanisme e-voting. Meski masih dalam ruang lingkup kecil (level desa), apa yang telah "diujicobakan" di Jembrana sangat layak diacungi jempol.

Kesuksesan di tingkat pilkades menginspirasi pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jembrana untuk menginisiasikan perubahan teknik memilih dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) di Jembrana dari mencoblos menjadi e-voting. Keinginan kuat Pemkab Jembrana terlihat dari usaha mengajukan judicial review terhadap Pasal 88 UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada akhir 2009. Permohonan Pemkab Jembrana itu terdaftar di MK dalam permohonan Nomor 147/PUU-VII/2009.

Plus Minus
E-voting adalah memilih dalam sebuah proses pemilihan yang didukung dengan alat elektronik. Pemanfaatan media elektronik tersebut dilakukan dalam pendaftaran suara, penghitungan suara, dan belakangan termasuk channel untuk memilih dari jarak jauh, khususnya melalui internet voting (Kersting dan Baldersheim, 2004: 5). Teknik e-voting yang telah dipraktikkan di Jembrana memang belum sampai pada penggunaan metode internet voting, melainkan baru menggunakan teknik mesin penghitung suara.

Dorongan terhadap gagasan untuk mewujudkan e-voting tidak terlepas dari kelebihan-kelebihannya. Secara garis besar, keunggulan e-voting terutama berkaitan erat dengan faktor efisiensi dan akurasi. Efisiensi yang dimaksudkan adalah bahwa dengan menggunakan e-voting, maka dapat relatif menghemat biaya dan waktu.
Secara filosofis, penyelenggaraan pemilu harus mengikuti prinsip efisiensi (Allan Wall, et.al., 2006:24). Terkait hal itu, seperti diberitakan banyak media massa, masalah tidak tersedianya (dan atau belum cairnya) anggaran menjadi salah satu persoalan krusial yang menghinggapi banyak daerah yang akan menggelar pilkada pada tahun 2010 ini. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat pernah melansir data dari 244 daerah (7 provinsi dan 237 kabupaten/kota), 122 di antaranya harus berhadapan dengan masalah anggaran yang belum juga cair.
Padahal, tidak sedikit dari ratusan daerah di Indonesia, pada awal 2010 ini sudah harus masuk tahapan proses pilkada, seperti pendaftaran pemilih, pembentukan pengawas, dan sebagainya. Sejumlah daerah yang anggaran pilkadanya belum cair, juga terkendala kurangnya dana untuk menggelar pilkada.
Berangkat dari konteks itu, tidak tertutup kemungkinan, apabila syarat pendukungnya terpenuhi, e-voting dapat menjadi alternatif solusi untuk mengatasi masalah anggaran dalam pilkada. Apalagi dengan teknik e-voting, menurut Kepala Dinas Perhubungan, Informasi, dan Komunikasi Kabupaten Jembrana, Komang Wyasaeng, bisa dihemat dana hingga 70 persen dibanding biaya pemilu dengan sistem konvensional yang selama ini berlangsung, yaitu mencoblos atau mencontreng (www.tempointeraktif.com).

Selain efisien dari aspek anggaran, nilai efisiensi juga terdapat pada masalah waktu. Berdasarkan pengalaman di sejumlah negara, voting lewat perangkat elektronik akan mempercepat pemilih untuk mengetahui hasil pemilu. Sebab, biasanya jika pagi hari diproses, malam harinya sudah diketahui hasilnya. Jadi, pemilih tidak usah menunggu selama 30 hari untuk mengetahui hasil pemungutan suara (www.jembranakab.go.id).
Kemudian, terkait akurasi, menyitir Willis, kecepatan dan akurasi suatu pemilu adalah hal yang penting dalam demokrasi modern (1966: 26). Selama mendapat dukungan dari daftar pemilih tetap (DPT) yang berbasis sistem administrasi kependudukan (SIAK), e-voting jauh lebih akurat dalam konteks hasil penghitungan dibandingkan dengan cara penghitungan manual.
Selain keunggulan-keunggulan di atas, e-voting juga mengandung beberapa kelemahan. Pertama, jika petugas pemilu tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang e-voting. Moynihan (2004:516), misalnya, mengkhawatirkan apabila teknologi e-voting gagal, maka akan mengurangi legitimasi proses pemilu.  Kedua, bagi sejumlah kelompok pemilih (seperti kelompok pemilih usia lanjut), e-voting berpotensi tidak disukai. Hasil riset Roseman, Jr. dan Stephenson (2005: 39) dalam pemilihan gubernur di Negara Bagian Georgia, Amerika Serikat, tampak bahwa ternyata pemilihan dengan menggunakan teknologi tinggi (e-voting) tidak cukup disukai oleh para calon pemilih, khususnya yang termasuk kategori berusia tua (di atas 65 tahun).

Faktor Pendukung

Pertanyaanya, apakah mungkin pilkada menggunakan e-voting? Pada masa yang akan datang, bukan tidak mungkin, pilkada dengan e-voting dapat diejawantahkan. Untuk memanifestasikannya, terdapat beberapa faktor pendukung yang harus dipenuhi.
Pertama, asas legal formal berupa UU No 32 Tahun 2004, mau tidak mau, harus direvisi. Usaha Pemkab Jembrana mengajukan judicial review merupakan salah satu pintu masuk untuk mendapatkan legitimasi terhadap revisi Pasal 88 UU No 32 Tahun 2004.
Belum lagi, DPR tahun ini juga mengagendakan penyusunan Rancangan Undang-Undang Pilkada (RUU Pilkada). Apabila Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan Bupati Jembrana, maka possibility dimasukkannya klausul tentang e-voting akan makin besar.
Kedua, masalah infrastruktur. Infrastruktur utama dalam pilkada adalah terkait sistem pendataan penduduk dengan menggunakan SIAK. Terakhir, faktor sosialisasi. Ketika nantinya prasyarat pelembagaan formal dan infrastruktur telah terpenuhi, maka sosialisasi yang gencar mengenai e-voting mutlak dilakukan. ***

Oleh :
Ikhsan Darmawan
Pengamat masalah sosial dan politik 

Sumber: Harian Bhirawa

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...